Platanista Minor : Lumba-Lumba Buta Langka Sungai Indus Yang Terancam Kepunahan

Banyak orang berpikir bahwa lumba-lumba adalah spesies mamalia yang hanya hidup di laut. Pikiran yang sebenarnya kurang tepat. Meski sebagian besar hewan ini hidup di samudera, tetapi ada saudara mereka yang hidup dalam lingkungan yang berbeda.

Salah satu di antaranya adalah Platanista Minor yang hidup di air tawar. Spesies ini memiliki habitat di sungai, tepatnya sunga Indus yang mengalir di kawasan Asia Selatan, seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal.

Platanista minor merupakan spesies yang memiliki keunikan tersendiri karena binatang ini bisa dikata “buta”. Walaupun secara fisik terdapat dua mata di area kepala, kedua mata ini tidak berfungsi layaknya mata karena ada komponen lensa untuk menangkap cahaya pada bola matanya.

Spesies unik ini menggunakan bio-sonar yang disebut echolocation. Proses kerja sistem ini mirip dengan yang dipakai kelelawar dimana hewan ini akan memantau pantulan suara yang dikeluarkannya untuk menentukan lokasinya. Sistem ini juga membantu hewan ini menghindari benturan dengan berbagai benda saat bergerak.

Hewan ini merupakan salah satu dari dua subspesies lumba-lumba air tawar buta yang ada di Asia Selatan. Yang pertama adalah Platanista Gangetica yang berhabitat di aliran sungai Gangga dan Brahmaputra, India dan Platanista Minor di Sungai Indus, Pakistan. Keduanya memiliki banyak kesamaan dalam karakter fisik dan cara hidupnya.

Keduanya tetap sama dengan lumba-lumba laut, yaitu bernafas dengan paru-paru layaknya mamalia. Mereka hanya mampu menyelam antara 30-120 detik saja sebelum harus timbul ke permukaan untuk menghisap oksigen.

Kesamaan lainnya adalah keduanya berada dalam ancaman kepunahan karena jumlahnya semakin lama semakin sedikit akibat banyak hal. Platanista Gangetica diperkirakan saat ini berjumlah hanya 3.500 ekor saja, sedangkan Platanista Minor lebih sedikit lagi dengan jumlah 1.500 ekor saja.

Berkurangnya hewan yang diperkirakan sudah ada sejak 50 juta tahun yang lalu ini merupakan akibat dari perburuan. Sama dengan lumba-lumba laut, dagingnya pun bisa dimakan dan lemaknya bisa dijadikan lilin atau bahan pembuatan salep. Apalagi, ada mitos bahwa memakan daging lumba-lumba ini akan meningkatkan kejantanan.

Polusi air yang dibuang oleh industri ke sungai menurunkan kualitas ekosistem dimana mereka hidup. Yang tidak kalah berkontribusi terhadap hal ini adalah pembangunan saluran irigasi secara besar-besaran untuk mendukung pertanian, telah merusak ekosistem ideal bagi hewan ini.

Terlebih, lumba-lumba air tawar ini tidak berkembang biak dengan pesat. Seekor lumba-lumba akan mencapai usia matang untuk kawin pada usia 10 tahun. Seekor betina pun hanya akan “melahirkan” satu ekor anak setiap dua tahun.

Untuk mencegahnya dari kepunahan, pemerintah India dan Pakistan telah mengeluarkan peraturan keras yang memberikan sanksi pidana terhadap siapapun yang membunuh dan menyakiti hewan langka ini. Dalam satu kasus yang terjadi beberapa tahun lalu, beberapa orang ditangkap dan diadili karena memukuli seekor platanista gangetica sampai mati.

Pemerintah Pakistan sendiri sudah menetapkan lumba-lumba langka ini sebagai Mamalia Nasional negeri tersebut.

Leave a Comment